Tuhan Senang Bercanda

Kitanya aja yang kadang terlalu serius.

Borneo Verando
6 min readMay 1, 2021

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya setelah gue nulis tulisan di sini juga yang judulnya “Does a Winner Mentality Really Exists?”, gue keluar dari kehidupan media sosial untuk sementara.

Karena awalnya gue pikir salah satu penyebab kenapa gue stress — selain masalah yang akan gue ceritakan di sini — adalah media sosial juga.

Tapi, akhirnya gue disadarkan bahwa media sosial hanyalah alat yang mengamplifikasi kebutuhan manusia. Selama kita masih menyalahkan hal selain diri kita, kita gak akan nemu jalan keluar dan kemana pun kita pergi akan bertemu dengan masalah yang sama. Itu berarti masih ada ruang yang memungkinkan gue untuk bisa salah dan justru jadi penyebab gue stress gak selesai-selesai.

Semua bermula dari kesulitan mendapatkan pekerjaan. Gue tau kondisi sekarang memerlukan usaha yang lebih ekstra untuk bisa survive. Dan sejujurnya, bertahan adalah keahlian gue.

Gue bisa tuh ditempatkan ke dalam situasi yang penuh tekanan tapi tetap berhasil bertahan cukup lama. Intinya, endurance gue bisa dibilang okelah. Tapi, justru ketahanan itu yang jadi masalahnya. Saking bagusnya gue bertahan, kemampuan dan kemauan untuk menang jadi sulit muncul. Sehingga seperti yang gue pernah tulis di sini, gue belum punya apa yang disebut dengan winner mentality.

Lanjut ke cerita tentang mendapatkan pekerjaan, singkatnya gue dapat tawaran kerja di suatu perusahaan besar yang tentunya gue terima. Lalu gue berusaha semaksimal mungkin untuk kasih perfroma yang terbaik. Dan hasilnya terbukti!

Sebulan sampai dua bulan pertama, target tim gue terpenuhi. Saking senangnya, atasan gue menjanjikan tanggung jawab dan benefit yang lebih tinggi dan lagi-lagi gue terima. Siapa yang gak mau coba? Jobless hampir 8 bulan, sekalinya dapet kerjaan langsung perform dan achieve target hingga dijanjikan naik level? What a bliss.

Tapi, kebahagiaan itu gak berlangsung lama. Karena apa yang dijanjikan ke gue gak kunjung gue dapatkan. Kontrak kerja yang harusnya cukup panjang, diputus di akhir tahun — yang mana harusnya gak masalah karena awal tahun dijanjikan kontrak baru dengan tanggung jawab yang lebih tinggi. Gue pun mulai menunggu kontrak baru tersebut dikasih ke gue.

Seminggu hingga dua minggu pertama, masih gak ada masalah. Gue masih bisa hidup dari tabungan. Tiga minggu terlewati, gue mulai agak goyang walaupun masih berusaha positive thinking, mungkin prosesnya memang lama.

Di minggu itulah akhirnya gue dikasih kabar, bahwa prosesnya akan dimulai. Namun, di saat yang sama gue diminta pertolongan untuk cari kandidat lain yang akan mengisi posisi yang selevel dengan gue untuk nantinya akan kerja bareng gue.

Tanpa perlu pikir panjang, gue merekomendasikan temen gue yang bahkan gue bantu naikkan nama baiknya supaya dia diterima dan kerja bareng gue nantinya.

Prosesnya pun berjalan. Gue penuhi semua tanggung jawab gue sampai lagi-lagi gue hanya harus menunggu kabar dari mereka.

“Nunggu lagi, nunggu lagi.” keluh gue hampir setiap hari.

Di awal bulan berikutnya, temen gue ngasih kabar bahwa dia diterima dan sudah siap untuk mulai kerja. Gue makin khawatir, dan bilang dalam hati, “Kok gue gak dikasih kabar apapun?”

Gue masih sabar menunggu.

Saat itu udah di bulan ketiga gue nunggu kabar — yang mana sudah sangat gak wajar — dan masih belum ada kejelasan. Hingga akhirnya gue nanya temen gue yang gue rekomendasikan tadi, karena gue lihat dia sudah mulai bekerja.

“Lo udah mulai kerja kan?” tanya gue ke dia.

“Udah nih,” jawab dia.

“Sejauh ini lo kerja sendirian?”

“Engga, udah ada orang yang tektok-an sama gue.”

Gue heran.

“Hah? Dari tim mana?”

“Sesama tim kita.”

Satu hal yang temen gue ini gak tau adalah posisi yang disediakan hanya dua, yaitu posisi dia dan posisi gue. Dengan fakta bahwa ternyata sudah ada orang yang mengisi posisi tersebut, gue hanya menghela nafas.

“Berarti gue di-replaced.” ujar gue mengakhiri obrolan tersebut.

Sakit? Tentu.

Kecewa? Apalagi.

Menyerah? Hampir.

Gue uring-uringan selama hampir tiga bulan dan jawaban yang gue dapat adalah fakta yang menyakitkan?

Gue pikir gue sudah cukup memberikan yang terbaik, selain karena itu pekerjaan yang gue banget, skill set gue juga cocok dan mumpuni dengan pekerjaan itu. Bahkan gue dengan bangga bilang ke orang-orang bahwa gue cinta sama pekerjaan itu. Tapi, balasan yang gue dapat adalah fakta bahwa gue digantikan?

Mata gue sembab berhari-hari. Gue stress. Gue gak punya pelarian apapun saat itu, yang gue tau hanyalah keadaan gue yang cukup menyedihkan.

Digantung tanpa kabar selama hampir 3 bulan dan juga tanpa pemasukan bahkan gue sampai perlu menjual barang seperti handphone dan kamera, tentunya jadi cerita yang gak akan gue lupa. Kejadian itu menjadi pengalaman yang cukup traumatis untuk gue.

Gue awalnya menutup diri untuk semua alasan yang perusahaan itu kasih ke gue dan sudah jelas cara gue memandang mereka jadi berubah. Tapi, buat apa? Toh, keadaanya sudah gak bisa dirubah.

Apalah arti satu orang bagi satu perusahaan besar, ya kan?

Untuk menghibur diri, gue mencoba apply ke beberapa perusahaan lain. Beberapa diantaranya cukup membuat gue tertarik. Namun, tetap tidak membuahkan hasil. Ada yang hanya melihat CV dan Portofolio gue aja dan gak ada kelanjutan, ada yang sudah sampai tahap interview tapi gak berakhir seperti yang gue harapkan.

Gak apa-apa. Gue masih bertahan.

Tapi, lama kelamaan kemampuan bertahan gue perlahan-lahan mulai membuat gue gerah. Suatu hari gue bertemu seorang teman yang membuat gue akhirnya mengambil keputusan untuk memenangkan ini semua.

Bertahan tanpa perlawanan hanya membuat energi kita habis perlahan.

Gue berdoa ke Tuhan supaya gue bisa mengeluarkan diri gue dari masalah ini. Pelan-pelan gue mulai menyusun target baru, merencanakan apa yang harus gue lakukan supaya suasananya menjadi lebih baik, setidaknya untuk gue sendiri.

Pelan-pelan, gue teringat alasan kenapa awalnya gue mau mencoba memulai karir di dunia korporat: gue hanya ingin belajar. Dan sejauh ini, sudah lumayan banyak pelajaran yang gue ambil dan semakin membuat gue yakin sepertinya ini memang bukan dunia gue.

Kesadaran tersebut membuat gue sedikit-sedikit berdamai dengan apa yang sudah terjadi. Sekarang gue mengerti kenapa itu semua harus terjadi. Karena jawaban yang Tuhan berikan dari doa gue adalah apa yang mau gue ceritakan setelah ini.

Portofolio baru adalah hal yang gue butuhkan untuk menjelajahi semuanya dari nol lagi. Kali ini gue gak menaruh ekspektasi apapun. Kalaupun gagal, ya gak apa-apa. Toh, kegagalan memang sebuah keniscayaan, kan?

Seorang teman bilang, “Lo tuh lebih cocok berkarya daripada bekerja.”

Gue amini itu.

Setelah gue membuat ulang portofolio dari awal, dengan tampilan baru yang lebih fresh dan lebih representative, gue sebarkan ke semua tempat yang gue bisa jangkau. Ke teman-teman, ke grup-grup Whatsapp dan berbagai platform lainnya. Dan akhirnya usaha tersebut terjawab.

Suatu hari ada pesan masuk dari Pandji Pragiwaksono, directly to my Whatsapp number.

“Bor, gue liat LinkedIn lo, lo ngerjain video ya?”

Jujur gue kaget. Gue pikir awalnya Mas Pandji cuma akan menawarkan project photoshoot atau video production seperti yang gue perlihatkan di portofolio. Dugaan gue salah, ternyata lebih besar dari itu. Mas Pandji mengajak gue untuk mengerjakan salah satu project besar dia di tahun ini.

Singkat cerita, tanpa perlu banyak pertimbangan gue sepakati dan itu berjalan sampai sekarang. Kalo lo liat di YouTube-nya Mas Pandji, ada satu segmen bernama “00:44 Weekly Vlog”. Itu gue yang mengerjakan.

Mungkin beberapa dari kalian mikir, “Ah, cuma bikin vlog.”

Gue bisa pastikan dari sekarang, bahwa itu hanya sebagian dari keseluruhan project yang Mas Pandji tawarkan ke gue. Ke depannya, khususnya tahun depan, ada sesuatu yang gue belum bisa kasih tau sekarang.

Sampai hari ini gue tulis, gue masih gak menyangka Tuhan ngasih gue jawaban lebih dari yang gue harapkan. Perlu gue kasih tau, apa yang sekarang gue kerjakan adalah hal yang gue bisa dan gue suka, ditambah gue mengerjakannya untuk orang yang selama ini jadi pemicu gue untuk gak berhenti berkarya. Tentunya ini akan jadi perjalanan yang seru.

Terlebih apa yang gue dapet di pekerjaan baru gue ini lebih banyak dibandingkan sebelumnya, baik dari segi finansial hingga koneksi yang gue dapat sekaligus mentor yang bisa gue serap ilmunya setiap hari.

Malu rasanya kalo mengingat gue pernah menangisi kejadian sebelumnya. Karena gue baru sadar secara gak langsung Tuhan mengabulkan gue dengan mengeluarkan gue dari tempat yang gak baik untuk gue dan memberikan ganti yang lebih baik.

Dan kalo ditanya, happy atau engga? Tentu happy, banget.

Lucu ya? Betapa kadang Tuhan cuma pengen kita merengek. Giliran mata udah sembab, baru Tuhan ngasih, bahkan lebih dari yang kita pengen.

Kayak pas masih kecil kita liat temen kita dibeliin Es Krim, lalu kita minta es krim ke orang tua kita tapi gak dikasih. Lalu pas udah nangis-nangis sampai capek, baru mereka bilang, “Ini dibeliin Es Krim yang lebih banyak.”

Hal yang gue pelajari kali ini adalah bahwa masalah anak muda itu cuma satu: gak sabaran.

Kita sebagai anak muda punya resource yang cukup untuk terbang lebih tinggi dari yang kita bisa. Tenaga, semangat dan niat yang murni, kita semua punya itu. Tapi, gak banyak dari kita punya kesabaran yang tinggi. Sedangkan jarak dari usaha ke pencapaian itu butuh kesabaran.

Gue juga jadi mengerti kenapa kadang ada kejadian di dalam hidup yang gak kita inginkan terjadi. Karena mungkin Tuhan sedang berperan untuk menyelamatkan kita dari situasi yang gak baik. Dan terkadang, harus mengorbankan apa yang kita pikir kita cintai.

Gue pernah berpikir, apa jangan-jangan Tuhan senang bercanda ya? Kitanya aja yang kadang terlalu serius. Sehingga mengabaikan fakta bahwa banyak hal dalam hidup kita terjadi karena keberadaan Tuhan itu sendiri.

--

--

Borneo Verando

Jauh di dalam sana, siapa kita tanpa orang lain? Be kind.