Ruang Hampa Bernama: Perspektif

Kemampuan Menempatkan ‘Cahaya dan Bayangan’ Diri

Borneo Verando
4 min readMay 30, 2021
@putrirazaaq on Instagram / Photographed by Borneo Verando

Teringat suatu diskusi semalam suntuk dengan kawan yang juga merupakan seorang fotografer tentang bagaimana sebuah foto bisa dikatakan bagus. Kami berdebat cukup panjang hingga mencapai pada satu kesimpulan yang masih gantung.

Gue percaya bahwa perdebatan tentang ini tidak akan pernah ada habisnya. Tapi, bagaimana pun diskusi tentang fotografi selalu menyenangkan, apalagi dengan teman yang juga ada ‘isi’-nya.

Ketika memotret, kemampuan menempatkan cahaya dan bayangan di bagian yang tepat adalah salah satu penentu sebuah foto bisa menyampaikan pesan dengan baik, sama seperti menggambar realis, memerlukan keterampilan menempatkan tint-tone-shade di tempat yang tepat. Soal mana bagus tidaknya sebuah foto atau gambar hanyalah permasalahan referensi dan selera pribadi.

Proses memotret atau menggambar dan hubungannya dengan kehidupan bagi gue sangat menarik, karena dua hal itu bergantung pada cara pandang kita terhadap sesuatu.

Kita hidup di ruang hampa bernama perspektif. Sayangnya, sulit sekali untuk menentukan batasan perspektif mana yang bisa kita pijak, sehingga seringkali kita merasa hidup di ruang perspektif orang lain.

Apa yang menurut kita benar belum tentu sama di mata orang lain dan begitu sebaliknya.

Kita pasti pernah — minimal sekali seumur hidup — mengambil suatu keputusan yang justru ditolak mentah-mentah oleh lingkungan terdekat. Kita juga mungkin pernah terpaksa mengikuti kebiasaan orang lain meskipun kita sadar bahwa kita sedang tidak menjadi diri sendiri.

Banyak yang bilang bahwa seharusnya tidak perlu memikirkan anggapan orang lain terhadap kita, namun seringkali kita kesulitan. Kita akan selalu berada di fase itu. Takut dianggap tidak benar, takut ditinggalkan karena keputusan yang kita ambil dan akhirnya membuat kita takut salah mengambil keputusan apapun.

Percayalah, itu sangat mengganggu. Karena pada dasarnya bukan tugas kita untuk menyenangkan semua orang, kan?

Lagipula, bagaimana caranya kita menilai cara ikan berenang, padahal kita adalah seekor burung?

Anggaplah dari langit kita sering melihat ikan-ikan itu berenang. Tapi, kita tetap tidak bisa berenang, kan?

Pada fase tertentu dalam hidup, kita pasti sering berpikir tentang perspektif mana yang harus kita menangkan. Mendahulukan diri sendiri dianggap egois, sedangkan membiarkan diri sendiri menuruti kata orang lain dianggap tidak punya pendirian. Berada di antara keduanya pun kadang membingungkan.

Hingga pada akhirnya kita memilih salah satunya pun kadang masih memberikan pertanyaan baru. Tentang apakah ini keputusan yang tepat? Atau tentang apakah kita sudah memilih jalan yang benar?

Tapi, ada yang kita lewatkan, yaitu sebuah fakta bahwa kita tidak merasakan semua yang orang lain rasakan, begitu juga sebaliknya. Pertanyaan-pertanyaan tadi (tentang keputusan yang tepat atau memilih jalan yang benar) menjadi tidak relevan karena kata kuncinya adalah perspektif.

Sebagai seorang pemikir berlebihan seperti gue, ada satu tips yang lumayan bisa membantu (supaya tidak terlalu berlebihan), setidaknya untuk diri gue sendiri.

Coba posisikan pertanyaan tersebut di tengah-tengah. Lalu pikirkan kepada siapa pertanyaan tersebut seharusnya diarahkan. Tentu paradigmanya akan berubah.

Jika awalnya pertanyaannya berupa:

Apakah ini keputusan yang tepat?
Apakah kita sudah memilih jalan yang benar?

Tambah satu pertanyaan lagi: Bagi siapa?

Tepat, bagi siapa?
Benar, bagi siapa?

Jawabannya akan bervariasi tergantung situasinya. Tapi, setidaknya kita akan langsung tersadarkan bahwa benar bagi kita belum tentu benar bagi orang lain. Tepat bagi kita juga belum tentu tepat bagi orang lain.

Namun, akan berbeda jika dalam pengambilan keputusan kita melibatkan orang lain — atau sesimpel ‘dilihat’ oleh orang lain.

Seorang teman sempat bercerita tentang orang tuanya yang selalu kontra terhadap apapun keputusan yang ia ambil untuk dirinya sendiri. Orang tuanya selalu merasa bahwa keputusan mereka adalah yang terbaik dan semua orang harus setuju.

Saat teman gue lebih memilih bekerja daripada melanjutkan studi S2-nya, orang tuanya marah karena tidak setuju. Saat teman gue lebih memilih menikahi pacarnya daripada orang lain pilihan orang tuanya, orang tuanya marah lagi dan bilang bahwa mereka tidak akan merestui hubungannya.

Well, kasian juga sih. Hahaha.

Mari kita sepakati bahwa parenting skill adalah hal lain, tapi sebagai manusia, merasa paling benar itu adalah sesuatu yang justru tidak benar, kan?

Kita semua mungkin pernah berada di situasi itu, tapi apa yang kita lakukan? Kalo gue? Gue pasti berontak. Walaupun pasti ada juga yang memilih untuk mengalah dan/atau ada juga yang mencari jalan tengah.

Tapi poinnya adalah betapa pentingnya memiliki kemampuan untuk selalu melihat segala sesuatu dari berbagai macam sudut pandang.

Dari kasus teman tadi, gue berpikir, mungkin suatu hari kita harus bisa memilah mana keputusan hidup kita yang harus disimpan sendiri dan mana yang orang lain bisa lihat.

Keputusan hidup kita itu layaknya penis, tidak semua orang boleh lihat dong? Apalagi pegang-pegang atau dibanding-bandingkan, ya jangan. Disimpan saja. Dikeluarkan hanya saat-saat tertentu. Hahahaha!

Memilah mana yang bisa diperlihatkan dan tidak itu bukan upaya untuk tidak menjadi diri sendiri, namun sebaliknya, dengan melihat fakta bahwa kemampuan menempatkan ‘cahaya dan bayangan’ diri kita di tempat yang tepat merupakan salah satu sistem pertahanan diri yang harus kita punya, yang mungkin kita butuhkan untuk mensinyalir adanya upaya atau tindakan destruktif dari orang yang bahkan perspektif hidupnya terhadap kita sama sekali tidak sejalan.

--

--

Borneo Verando

Jauh di dalam sana, siapa kita tanpa orang lain? Be kind.