“Konten”

Borneo Verando
2 min readDec 6, 2019

--

Bayangkan semua orang adalah content creator. Semua orang berlomba membuat konten yang ‘menarik’ (dalam perspektif masing-masing), lalu dalam waktu yang sama, konten-konten itu diupload di platform yang sama.

Siapa yang jadi penikmatnya?

Siapa yang rela menyisihkan waktunya untuk melihat dan menikmati kontennya orang lain, padahal dalam dirinya sendiri pun ia ingin dilihat.

Media Sosial memang tempatnya cari perhatian. Dan sayangnya, persaingannya cukup ganas.

Sudah terlalu banyak what-so-called content creator. Tapi pas diliat kontennya, ya tipis-tipislah.

Niat untuk berbagi menjadi topeng untuk mereka yang prioritasnya adalah angka. Dan pada akhirnya, jati diri bisa jadi bayaran yang harus seseorang tebus demi ‘perhatian’ yang ia dambakan. Demi angka yang ia impikan.

Bagi beberapa orang, angka memang sekrusial itu.

Angka di sini bisa berupa jumlah impression/reach/engagement pada media sosialnya atau apapun sesuai dengan cara pandang masing-masing. Mereka-mereka ini, mencari segala cara, agar angkanya tetap stabil. Termasuk berbohong pada dirinya sendiri, mungkin.

Lalu timbul kebiasaan-kebiasaan baru. Kita ambil contoh dalam platform instagram.

Orang-orang ini punya kebiasaan baru yang entah kenapa gue pikir cukup mengkhawatirkan. Mereka selalu melihat siapa viewers di instastories mereka, refresh notification setelah upload konten hanya untuk melihat pertumbuhan likes dan commentnya.

Mereka berpikir bahwa semua orang sungguh-sungguh memperhatikan konten yang ia buat. Dan padahal faktanya adalah seperti pernyataan di awal; semua orang juga berlomba membuat konten. Tidak ada yang sungguh-sungguh memperhatikan kontennya.

Dan satu fenomena lagi yang agak tragis, adalah dengan melihat kenyataan bahwa angka bisa sejahat itu merubah cara pandang kita terhadap orang lain.

Media sosial yang fungsi utamanya adalah menjangkau koneksi seluas-luasnya, bagi beberapa orang malah menjadi patokan untuk menilai orang lain. Permainannya simpel; lo punya massa, lo akan didengar. Kalo lo gak punya masa, jangankan didengar, dilihat pun engga.

Dan bagi yang punya panggung, akan merasa paling benar dan besar kepala. Dan seakan tutup kuping ketika ada yang mengkritik.

Dan bagi yang gak punya panggung? There you go! Saat itu juga perlombaannya dimulai.

Gue gak punya solusi apa-apa. Setidaknya, kemampuan menyampaikan semua ide ini adalah hal terakhir yang gue punya sekarang.

Gue tidak menyalahkan siapa pun. Gue tidak bermaksud menyindir atau mencoba merendahkan siapa pun.

Karena kalau mau jujur-jujur-an, coba sisihkan waktu sejenak untuk liat sekeliling lo sekarang. Dan kasih tau gue, apa yang lo liat?

--

--

Borneo Verando

Jauh di dalam sana, siapa kita tanpa orang lain? Be kind.