Kekuatan Dalam Kesedihan

Karunia Tuhan bagi Seniman

Borneo Verando
3 min readMay 4, 2021

Dulu, hampir setiap malam sebelum tidur, tepatnya ketika sudah di ambang antara realita dan alam mimpi, selalu terbesit penyesalan-penyesalan gue di masa lampau. Biasanya berlanjut ke mimpi buruk yang menyebabkan rasa lelah saat bangun keesokan paginya.

Kesimpulan dari hasil banyak tanya ke orang-orang yang mengalami hal serupa, bayangan-bayangan tersebut merupakan proyeksi atas kejadian-kejadian yang belum kita maafkan. Dalam kasus gue adalah keinginan untuk bebas memilih jalan hidup yang terpatahkan oleh orang-orang terdekat.

Pikiran gue kembali ke masa-masa setelah lulus SMA beberapa tahun silam. Saat ditanya apa yang gue inginkan, gue selalu menjawab, “Mau berkarya.”

Tentunya bukan jawaban yang tepat bagi dua orang tua yang lebih memprioritaskan rasa aman dibanding kebahagiaan. Tanpa melihat lebih dalam kebahagiaan seperti apa yang lahir dari hati anak laki-lakinya.

Namun, seperti singa kelaparan yang dikurung berbulan-bulan, hasrat mencipta dari tangan gue tidak bisa dikendalikan. Dengan diiringi banyak penolakan, gue tetap yakin bahwa mengejar kebahagiaan akan menuntun kita pada rasa aman, bukan sebaliknya. Meskipun harga yang harus dibayar adalah waktu dan rasa sakit yang bahkan datang dari arah yang tak terduga.

Saat itu gue percaya bahwa yang harus gue lakukan hanyalah terus mencipta, tanpa perlu peduli dampaknya bagaimana. Terkadang, gue menyelipkan doa supaya bukannya diberi jalan yang mudah, melainkan kekuatan dan kebijaksanaan dalam setiap situasi yang gue hadapi.

Entah harus bahagia atau sedih, doa itu justru terkabul.

Gue harus melewati jalan yang lumayan berbatu, kadang curam, kadang perlu sedikit merangkak, kadang juga lurus-lurus aja tapi permukaannya bebatuan tajam. Tapi baiknya, meski tangisan dan keluhan menjadi kebiasaan gue saat itu, gue tetap bisa menjalani semuanya.

Keinginan yang kuat untuk terus berkarya mengalahkan rasa takut gue. Bahkan ada di beberapa tangis di malam hari, gue berbisik dalam gelap ke diri gue sendiri, “Ini kan yang lo mau, Bor? Sampai batas mana lo bisa bertahan?”

Awalnya gue pikir memang gue yang agak keras ke diri gue sendiri, tapi sampai sekarang kalau bukan karena itu gue tidak akan bisa melewati apa yang sudah gue lewati.

Selain itu, salah satu faktornya mungkin karena dulu ada yang secara gak langsung pernah memberikan sebuah mantra ke gue dan sering gue pakai khususnya ketika gue merasa kelelahan. Mantranya begini:

Kalau kamu sangat menginginkan sesuatu tapi kamu masih bisa menciptakan alasan untuk tidak melakukan apa yang harus kamu lakukan demi mencapai keinginan kamu, itu berarti kamu belum benar-benar ingin.

Entah kenapa mantra itu memicu syaraf-syaraf di badan gue yang tadinya kelelahan jadi normal lagi sehingga gue bisa melakukan apapun yang harus gue lakukan.

Tapi, pernah ada momen dimana mantra itu tidak berfungsi. Tepatnya di saat gue kehilangan kepercayaan diri yang dipicu oleh habisnya daya tahan mental karena terlalu banyak dikuras oleh hal-hal yang gak harus gue pikirkan. Lagi-lagi masalahnya ada pada keinginan yang terpatahkan.

Jangankan bergerak, memikirkan solusinya saja berat rasanya. Butuh lebih dari sebulan untuk gue bisa kembali berpikir jernih. Karena seringnya di saat kita sedang dalam masa tersulit dalam hidup, gula pun terasa gak ada manis-manisnya.

Sering sekali saat kita berusaha melupakan masalahnya, justru semakin sulit rasanya untuk benar-benar melupakan. Hingga ada satu momen berharga yang gue alami.

Saat itu, sambil makan malam gue cerita ke pacar tentang betapa menyedihkannya hidup sebagai seniman. Seringkali hanya untuk membuat satu karya harus lebih dulu merasakan kesedihan yang mendalam. Tapi dilemanya, hal yang bisa membuat kita senang adalah dengan melihat karya tersebut selesai dibuat.

Kenapa untuk merasa bahagia, kita harus bersedih dulu?

Lalu dia hanya merespon dengan satu kalimat:

Seniman itu diilhami kekuatan dalam setiap kesedihannya.

Gue terdiam sejenak. Pikiran gue mulai bergerak layaknya roda mesin yang baru menyala.

Kekuatan dalam kesedihan, untuk apa?

Gue berpikir ke belakang, melihat inti masalahnya.

Belakangan ini gue menyadari bahwa gue sering memilih untuk melupakan masalah ketimbang memikirkan solusinya. Berlarut-larut dalam kesedihan sehingga mengorbankan waktu yang berujung jadi penyesalan. Dan penyesalan berakhir menjadi ketakutan.

Andai gue tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan punya kuasa untuk merelakan situasinya, gue jadi tidak perlu mengorbankan waktu.

Sekarang gue paham apa fungsi kekuatan dalam kesedihan; untuk menyadari seutuhnya bahwa kita tidak akan pernah bisa melupakan masalah jika tidak memaafkannya terlebih dahulu.

Kekuatan untuk memaafkan apa yang terjadi.

Karena ketika kita sudah merelakan masalahnya, maka kita akan punya waktu untuk memikirkan langkah berikutnya.

Mungkin, bukan hanya untuk seniman, kekuatan dalam kesedihan seharusnya adalah karunia yang Tuhan berikan untuk manusia seluruhnya.

--

--

Borneo Verando

Jauh di dalam sana, siapa kita tanpa orang lain? Be kind.