Kebodohan Itu Diciptakan

Borneo Verando
3 min readApr 22, 2021

--

Dan ternyata gak bisa hilang.

“Ah, bisa kok! Dengan belajar, contohnya.”

Engga. Kebodohan — atau lebih tepatnya kegoblokan — sayangnya gak bisa hilang. Mungkin keliatannya hilang, tapi nyatanya hanya tertutup dengan wawasan.

Baru aja kejadian, bahkan semalam sebelum gue nulis ini. Gue bosan dengan kebodohan yang gue sering sekali lakukan. Gue sedang membicarakan diri gue yang — duh sepele banget ini — entah gimana caranya selalu bisa ketiduran di saat ada urusan genting yang bahkan sedang gue kerjakan.

Ada satu kewajiban yang harus gue kerjakan yang sengaja gue niatkan untuk begadang supaya pekerjaannya selesai lebih cepat. Pertama, gue harus render video kerjaan yang membutuhkan waktu cukup lama. Kedua, gue harus upload konten video yang sudah di-render tersebut ke GDrive supaya bisa naik ke YouTube keesokan paginya jam 08:00. Ketiga, gue juga harus sahur karena selain karena makanannya sudah dibeli, gue juga bisa puasa dengan tenang.

Tapi, semua itu gagal hanya karena satu hal: ketiduran.

Tentunya merusak semua rencana. Gue bangun dengan keadaan render videonya gagal karena gue tinggal dalam keadaan laptop gak di-charge, berimbas kepada jadwal upload video ke GDrive dan kemudian naik ke YouTube-nya jadi mundur. Dan yang lebih nyebelin lagi, gue gak sempat sahur dan makanan yang udah gue beli gak kemakan.

Oke, anggaplah buat kalian ini sepele. Tapi yang bikin gue gak habis pikir adalah: kenapa hal sepele ini justru gak dapet perhatian gue dan bikin gue berantakin semuanya?

Iya, betul semuanya jadi berantakan, walaupun bisa diberesin dan dirapihin lagi. Tapi kan masalahnya jadi mengorbankan waktu, bukan cuma waktu gue, tapi juga waktu orang lain yang dalam hal ini bergantung pada keputusan-keputusan yang gue ambil.

Gue sadar kebodohan datang dengan harga dan ini adalah harga yang harus gue bayar. Gue pun udah gak bisa nyalahin apa-apa selain diri gue sendiri. Mau ngeluh ke orang pun jadi terlihat bego. Mau nyimpen sakitnya sendiri rasanya tetep gak enak.

Akhirnya yaudah, lebih baik terlihat bego sekalian. Mau gak mau, gue harus amini itu. Toh, masalahnya datang karena kebodohan gue sendiri. Gue bego, guys.

Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Kalo kata coach gue: People make mistakes, what you do after is what matters.

Gue belajar satu hal dari kesalahan kali ini: jangan remehkan hal kecil. Sekecil apapun itu. Karena, kalau ditanya satu-satunya alasan kenapa ini bisa kejadian adalah karena gue sering menganggap enteng hal-hal yang terlihat gampang dilakukan.

“Ah, udah selesai, tinggal render aja kok,”

“Ah, nanti tinggal upload aja ke GDrive,”

“Ah, tinggal makan aja kok, bisa sambil nunggu render video,”

Mindset buruk bisa lahir hanya dari satu pemilihan kata yang salah. Gue akhirnya sadar bahwa kata “tinggal” itu racun.

Mas Pandji (Pragiwaksono) sempet bilang ke gue kalo kata tersebut cenderung menyepelekan. Akan berbeda 180 derajat kalau kata itu diganti dengan “masih harus”.

Masih harus di-render,”

Masih harus upload ke GDrive,”

Masih harus makan sambil nunggu render video,”

Beda kan?

Sampai sini pemilihan kata jadi sangat krusial. Betapa hal-hal kecil tetap perlu mendapatkan perhatian kita, terlepas dari apakah yang kita anggap kecil dan sepele itu bisa saja menjadi faktor utama terjadinya masalah yang sangat mengganggu dan membuat semuanya jadi berantakan.

Gak ada tuh kata tinggal, adanya masih harus.

--

--

Borneo Verando

Jauh di dalam sana, siapa kita tanpa orang lain? Be kind.