Does a Winner Mentality Really Exists?

Borneo Verando
4 min readJan 29, 2021

--

Ada sebaris kata yang dalam setahun terakhir selalu dipakai untuk memulai sebuah tulisan apapun dan dimanapun, dan barisan kata itu adalah: di masa sulit seperti sekarang ini.

Setelah lama-lama muak dengan barisan kata itu, gue memutuskan untuk berdamai. Jadi, mari kita pakai untuk memulai catatan kecil gue ini.

Di masa sulit seperti saat ini, melihat banyak temen gue mulai mencapai target mereka, mulai membuka bisnis baru mereka, bikin konten keren di platform mereka dan kemudian cerita dengan bahagia ke orang-orang bikin gue bertanya-tanya, “Kok bisa?”

Gue ngeliat diri gue di satu sisi tergugah buat bikin sesuatu atau melakukan satu per satu yang gue bisa, tapi di sisi lain dampak pandemi terhadap mental gue juga cukup signifikan. Walaupun gue yakin gue gak sendiri. Banyak dari temen-temen semua pasti mengalami hal serupa.

Di sela-sela waktu luang gue akhir-akhir ini nonton The Last Dance di Netflix. Dari serial dokumenter itu gue jadi kepikiran akan satu hal: Winner Mentality.

Beberapa orang (termasuk gue), semenjak awal pandemi berusaha keras untuk bertahan supaya gak jatuh. Tapi beberapa orang dengan Winner Mentality-nya juga berusaha keras, bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk menang. Menang melawan dirinya sendiri yang udah dihajar habis-habisan oleh pandemi.

Hampir setahun, gue kehilangan pekerjaan yang gue cinta dan di tahun yang sama gue dapet pekerjaan baru yang gak kalah menyenangkan. Namun, selalu ada rasa yang tertinggal pada sebuah kegagalan, yaitu rasa takut untuk merasakan hal serupa. Rasa takut gagal untuk kesekian kalinya.

Beberapa minggu lalu, gue ketemu temen (tentunya dengan kata ajaib: mematuhi protokol kesehatan) yang usianya jauh di atas gue. Gue cerita tentang semua hal yang gue rasain dan apapun yang gue lakuin dan gak gue lakuin.

Selain gue cerita tentang gimana gue bisa kehilangan pekerjaan gue, tentang masalah apa yang gue hadapi sekarang, tentang kondisi mental gue yang udah babak belur karena pandemi, gue juga cerita tentang alasan-alasan yang gue sadar bikin gue susah untuk bangkit lagi.

Setelah gue selesai, dia menyimpulkan semuanya dengan bilang ke gue, “Lo terlalu banyak mikir. Bahkan untuk sesuatu yang lo gak harus pikirin.”

Gue pulang dengan perasaan campur aduk yang makin bikin gue bertanya-tanya.

Apa gue sudah melakukan semuanya dengan benar atau gue hanya melakukan semuanya, semaunya? Kalo gue sudah melakukan semua dengan benar kenapa hasilnya tidak sebaik seperti yang udah gue kerjakan? Dan kalo gue ternyata mengerjakan semua semaunya, kenapa selama ini gue terbuai dengan keberhasilan kecil lalu baru sekarang jatuh hanya karena satu kondisi yang gue gak bisa kendalikan? Dan kenapa rasanya kali ini susah banget untuk bangkit? Kenapa gue kehilangan semangat yang dulu gue punya? Kemana perginya mereka?

Semua pertanyaan dan perasaan itu larut dalam tangis semalaman suntuk yang menghasilkan beberapa pertanyaan baru: Apa cuma sampai sini aja? Atau gue bisa lanjutkan dengan apa yang gue punya? Atau gue harus berhenti dan kabur sementara waktu sampai semua gue rasa mulai membaik? Tapi gue yakin itu jebakan karena gak akan ada abisnya.

Sekarang gue duduk di kamar kost, belum sarapan, mata sembab, ditemani acara TV tahun 2000an yang gue gak tonton, cuma gue lirik ketika mencari kata yang tepat untuk menulis apa yang sedang kalian baca.

Sambil menulis, sisi optimis gue berdebat dengan sisi pesimis gue. Membiarkan rasa takut dan rasa marah terhadap diri sendiri saling mencoba menguasai diri gue yang sedang kehilangan arah.

“Sasaran empuk,” kata mereka.

Dan di saat yang sama gue sadar kalo gue butuh semangat baru. Tapi yang bikin ini makin menyedihkan adalah; udah gak ada sesuatu yang bikin gue tertarik lagi. Mungkin belum, entahlah.

Ngomong-ngomong soal Winner Mentality, kata itu masih belum tergambar apa-apa di kepala gue. Satu-satunya yang gue ingat tentang hubungan kata itu dengan diri gue adalah bahwa dulu gue juga sering gagal, tapi gue gak takut. Dulu gue berani mencoba hal baru, dan gue gak takut.

Dulu gue punya mantra untuk memunculkan rasa penasaran dan keberanian gue yang entah kenapa sekarang itu gak bekerja lagi. Dulu gue melihat segalanya dalam bentuk pattern, dan gue pikir kita bisa hidup hanya dengan satu pola.

Ternyata enggak.

Sejauh yang gue pahami, Winner Mentality itu berkembang. Semakin lo sering gagal dan kemudian berhasil menemukan solusinya, semakin besar juga harusnya Winner Mentality di dalam diri lo.

Dan gue rasa ada banyak hal yang harusnya bisa meningkatkan Winner Mentality kita ke level yang lebih tinggi, tapi tanpa satu bagian penting yang disebut ‘fokus’, semua tetap akan berantakan. Sebesar apapun Winner Mentality lo.

Dan gue rasa gue lagi kehilangan bagian itu.

Di tulisan kali ini gue gak menyimpulkan apa-apa. Gue belum bisa kasih hal positif apa-apa. Buktinya, semua masih bernada pesimis, kan?

Gue cuma mau cerita apa yang gue rasakan dan apa yang gue perjuangkan. Gue belum menemukan apa yang bisa gue bagikan selain menceritakan ini semua supaya setidaknya ada orang yang paham.

Tentunya tanpa mengurangi kesadaran bahwa semua orang juga menjalani perjuangan mereka sendiri melawan masalah mereka.

Gue berdoa, semoga kita selalu punya Winner Mentality yang terus berkembang, terus naik level.

Dan harapan gue yang terdalam adalah semoga cerita gue kali ini punya final statement, yang entah kapan gue bisa temukan dan gue tulis lagi dalam format yang punya nada lebih optimis.

Semoga kita bisa bertahan dan menang.

Tangerang Selatan, hari Jumat.

29 Januari 2021, 11.40 WIB.

--

--

Borneo Verando

Jauh di dalam sana, siapa kita tanpa orang lain? Be kind.