Are You Happy Enough?

Borneo Verando
4 min readNov 21, 2019

--

It took me 5 months to write again here!

Gue seolah lupa kalo selain motret, menulis juga bikin rileks selama dilakuin dengan bahagia.

Sejauh yang gue jalanin, 5 bulan ini cukup menyita banyak pikiran, tenaga, dan juga waktu gue dengan diri gue sendiri.

Putus cinta bukan bagian yang paling buruk. Momen setelahnya yang bikin hilang arah. Bukan karena sedih, lebih kepada bingung. Why can it happen, or at least, (yeah) it’s finally happen.

Terlepas dari mempermasalahkan kenapa gue bingung ini semua bisa terjadi, fokus gue juga terbagi banyak, mulai dari bisnis yang gue jalanin, pekerjaan baru gue, keluarga, keuangan, bahkan sampai kepada siapa yang menggantikan posisi ‘dia’ yang lama.

Bahkan banyak yang bilang,
“Lo enak abis putus udah ada gantinya,”
“Secepet itu ya move on?”
“Tiga tahun gak bentar loh, dan lo gak sedih?”

Well, gue gak punya jawabannya. Bukan karena gue gak bisa jawab. Karena ya orang lain pun udah bisa jawab.

Engga, gue gak mencoba curhat terlalu dalam di sini. Cerita-cerita detailnya mah kita obrolin aja kalo ada kesempatan ngopi bareng. Di sini, gue merasa lebih pengen ceritain gimana akhirnya gue bisa berdamai dengan semua kesalahan, kebingungan, dan amarah diri gue sendiri.

Manusia itu gak bisa diprediksi. Hanya masalah waktu yang menjawab apakah lu berubah dengan cepat, atau bisa sangat lama. Satu hal yang pasti; lo, sebagai manusia, pasti berubah.

Hari-hari gue dalam 5 bulan terakhir ini, dipenuhi pertanyaan di kepala gue tiap bangun pagi, “Am I Okay?”.

Pertanyaan itu berakhir dengan diam sepanjang hari.

Gue pun mulai lupa banyak hal-hal kecil. Kebiasaan gue tiap hari juga jadi berantakan. Gue sering lupa bawa dompet, bangun lebih siang dan tidur lebih pagi dari biasanya, gampang marah dan nangis, lebih seneng sendirian, bahkan orang tua gue aja gak gue tegor.

Sampai satu hari gue cerita ke temen gue, and she said, “Lo itu lagi kacau. Bukan elonya, tapi jiwa lo yang lagi kacau.”

Gue sadar kadang kita ngerasa baik-baik aja. Kadang kita ngerasa gak ada masalah. Kadang kita ngerasa semua kayak biasa. Padahal, jauh di dalam, hati dan alam bawah sadar kita berkecamuk.

Seolah membenarkan, gue pun memutuskan untuk travelling. Tapi gak membantu. Justru sepulang dari Lombok dan Bali, tepat banget baru landing di Jakarta, satu pertanyaan lagi muncul.

“Are you happy enough?”

Shit. Gue kayak dibanting rasanya. Gue ngerasa lagi ditampar-tamparin banget sama kenyataan. Tuhan lagi mau ngasih tau gue bahwa apa yang gue jalanin selama ini ada yang salah. Dia seakan mau ngasih gue pelajaran lewat semua kekosongan ini.

Mulai banyak suara di kepala gue yang bilang bahwa gue salah arah. Gue gak berguna. Gue sampah.

Dua pertanyaan tadi justru makin gue lebih pesimis, pasif, dan gak produktif. Kerjaan gue berantakan, bisnis gue gak kepegang, hubungan gue yang baru juga jadi gak jelas arahnya.

Sampai ketika gue ngobrol sama satu orang temen gue. Dan dari cerita gue dia bilang, “Lo itu kurang traveling.”

Gue sanggah, “Lah baru gue traveling kemaren,”

Dia lanjutin, “Bukan. Bukan itu. Coba lo ajak diri lo sendiri jalan-jalan. Bukan tentang jaraknya, tapi tentang perjalanannya dan apa yang lo dapet dari obrolan lo sama diri lo sendiri. Lo mesti lebih ngerti diri lo sendiri maunya apa.”

Gue diem. Lama. Mungkin ada sebulan gue lebih banyak diemnya. Gue berpikir bahwa selama ini gue selalu mencoba bahagiain orang lain, tapi mengorbankan bahagianya gue. Jiwa gue cemburu sama diri gue sendiri karena mungkin selama ini lebih mikirin gimana cara bahagiain orang lain ketimbang gue sendiri.

Pelan-pelan, setelah obrolan hari itu, gue mulai coba benerin apa yang akhir-akhir ini gue berantakin. Gue coba selesaikan apa yang belom gue kerjakan. Sampai bener-bener urusannya hanya gue dan untuk gue sendiri.

Gue sadar, gimana gue bisa mencintai orang lain kalo gue aja masih suka membenci diri sendiri. Gimana gue bisa menebar kebermanfaatan kalo untuk diri sendiri aja gue masih berantakan.

From that day, i start loving myself. Makin ke sini, makin personal. Gue mulai perhatian sama hal-hal kecil dan detail. Gue jadi cinta kerapihan. Mulai biasa bangun pagi. Dan pas bangun aja gue jadi merasa harus beresin tempat tidur gue.

Hal-hal sesimpel itu ternyata berpengaruh ke mood sehari-hari. Satu hal yang jadi kebiasaan setelah semua ini adalah; gue mulai berpikir positif ke diri gue sendiri.

Gue jadi belajar bahwa kesalahan-kesalahan itu sifatnya mutlak. Manusia pasti bikin kesalahan. Pembedanya adalah kita mau menerima kenyataan kalo kita bikin salah atau engga. Dan juga setelahnya mau kita perbaiki atau engga.

Balik lagi, semua tentang gimana cara lo ngajak diri lo sendiri jalan-jalan dan cari tau apa yang bisa bikin kita bahagia.

Damai aja. Tenang. Istirahat. Jangan dipaksa. Semua hal pasti baik-baik aja. Gak seburuk yang kita pikir. Dan semua pasti selesai.

Dan pada akhirnya, tugas gue sekarang dan ke depannya adalah; menjalani semuanya dengan bahagia, menerima kekurangan gue, mengoptimalkan apa yang gue punya, dan selalu berdamai dengan diri sendiri. Tanpa terkecuali.

Selamat berbahagia. Dan doakan gue terus bahagia.

--

--

Borneo Verando

Jauh di dalam sana, siapa kita tanpa orang lain? Be kind.